Wujud Kontribusi dengan Kolaborasi menuju Indonesia Sehat
Indonesia Sehat, sebuah visi yang pernah saya gemakan 15 tahun lalu dengan pakaian merah putih. Paduan suara anak Sekolah Dasar, melantunkan melodi tanpa memahami esensinya. Sudah sepuluh tahun berlalu, Indonesia Sehat 2010 dan gadis kecil tersebut menyanyikan lagu itu tanpa ragu. Sekarang gadis itu sudah mengerti, Indonesia tidak lantas Sehat jika hanya dinyanyikan, tapi harus dengan bukti nyata yang diperjuangkan. Sekuat apapun harus berjuang, sebab masalah kesehatan terus tumbuh seakan bernyawa, terus hinggap seakan menetap dan terus datang padahal sudah disuruh pulang. Tak ada habisnya, selalu berganti. Satu belum tuntas, tiba-tiba ada yang baru menetas.
Indonesia sedang tidak diretas, kan?
Masa Sekarang
Pandemi datang dengan tiba-tiba. Mengancam semua penduduk bumi secara kasat mata. Tenaga kesehatan yang gugur bukan hanya bilangan angka, namun juga tentang kontribusi yang turut terkubur. Itu di kota, bagaimana di pedalaman yang jauh dari pelayanan? Coba kita perhatikan gambar di bawah ini.
Gambar ini mengingatkan kita tentang bagaimana pola pembangunan listrik pada beberapa wilayah. Begitu terang di wilayah Jawa dan begitu gelap di wilayah timur Indonesia. Sayangnya, gambar ini bukan tentang benda mati bernama 'listrik', tapi ini tentang persebaran organisme hidup yang mengganggu hidup manusia. Perkenalkan, namanya SARS-CoV2 yang saat ini sedang sangat viral, menyebar dan sudah banyak korbannya. Secara kasat mata, ia menyerang manusia, lalu mengacaukan semua yang tampak oleh mata. Hingga tanggal 28 September 2020 di Indonesia, COVID-19 mencapai 278.722 kasus positif, 206.870 kasus sembuh dan 10.473 kasus meninggal dunia. Bagaimana angkanya di wilayah Jawa? Sebut saja salah satunya yaitu Jakarta, ada 70.441 kasus positif atau 34% dari kasus positif di Indonesia dengan 56.329 kasus sembuh dan 1.686 kasus meninggal dunia. Sedangkan di wilayah yang terlihat gelap itu, sebut saja Papua, dengan 5.953 kasus positif atau 2,87% dari kasus positif di Indonesia, dengan 3.743 kasus sembuh serta 80 kasus meninggal.
Ketika listrik diharapkan pemerataannya, maka tidak dengan peta tadi. Kita
hanya perlu menyadari bahwa kasus ini mengancam rata semua penduduk
dunia. Kasus dengan bahaya yang nyata ini kita hadapi tanpa pengecualian, tapi
sayangnya kita tidak memiliki persiapan tempur yang sama. Beda di kota, beda di
desa. Hanya satu hal yang sama, tuan Corona ini tidak berganti identitas dan tidak memilih dalam menyerang. Semua dapat dihantamnya, saya, anda dan kita semua.
Sejumput Kontribusi Pemuda
Baiklah, kita coba membicarakan persiapan tempur ini dari banyak hal.
Sejak 2015, pemerintah sudah berjuang meningkatkan pelayanan di daerah terpencil dan sangat terpencil, lewat program Nusantara Sehat, dengan visi memperkuat layanan kesehatan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan Terluar (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan primer. Program ini dilaksanakan dengan menugaskan tenaga kesehatan berbasis tim atau individu dalam kurun waktu 2 tahun.
Pada tahun 2016 saya pun turut andil mengikuti program ini, bersedia ditempatkan di mana saja. Bukan hal yang rumit ketika saya memutuskan untuk bergabung. Salah satu alasannya, saya ingin berkontribusi lebih banyak di bidang saya. Selain itu, saya juga pernah bermimpi untuk menjelajah Indonesia, mengenal lebih dekat saudara sebangsa di manapun berada. Hingga akhirnya saya menetap di desa sangat terpencil di Sulawesi Selatan. Kelokan gunung, kicauan burung, keheningan dan senja yang ranum selalu mengisi setiap harinya. Meninggalkan zona nyaman, ternyata membuat saya berlabuh pada rasa nyaman yang lain. Perkenalkan kala itu, saya adalah Bidan di pedalaman.
Masalah kebidanan bukan hal yang mudah untuk diatasi, meskipun data menunjukkan bahwa bidan itu sangat banyak. Namun proporsinya sungguh belum merata. Di desa penempatan saya tersebut, bidan memang banyak dalam 1 Puskesmas, tapi tidak semua desa memiliki bidan yang bersedia tinggal 24 jam. Sedangkan, bidan menjadi satu-satunya yang dianggap mampu menyelesaikan masalah kesehatan mereka, ini karena untuk menyapa dokter mereka harus menempuh jarak yang tidak dekat dan akses yang tidak mudah. Jadi wajar saja mereka berharap Bidan dapat memberi solusi atas masalah kesehatannya.
Langkah kaki ini pun terus belajar dimanapun berada. Bukan hanya tentang menjadi bidan yang profesional, lebih dari itu, belajar menjadi manusia serta menjadi bagian dari pasukan yang berjuang meningkatkan pelayanan kesehatan di pedalaman. Dua tahun saya lalui, mendaki gunung dengan jalan kaki yang ditempuh berjam-jam, menyusuri sungai demi mencuci peralatan masak dan hampir pergi dari dunia hanya demi menempuh jarak untuk memberikan pelayanan kesehatan. Saya terus tumbuh dengan kekuatan yang selalu hadir dari sekitar, juga belajar dari kesederhanaan dan ketiadaan. Mungkin penduduk desa mengira anak rantau ini yang membawa ilmu pada mereka, tapi bagi saya, masyarakat inilah guru yang sebenarnya.
Hidup
dalam ketiadaan mengajarkan saya banyak hal, terutama dalam masalah kebidanan. Tiada tansportasi membuat rujukan
menjadi terlambat. Tiada kesiapan rujukan membuat penanganan berakhir fatal.
Hingga keterlambatan penanganan berakhir menjadi sebuah berita duka. Saya belajar, ada banyak hal yang bisa kita cegah, tapi banyak hal yang
membuat kita menjadi tidak bisa mencegah. Terkadang berandai-andai semua bisa dibenahi sejak awal, tapi apa daya semua sudah berakhir. Hingga kapanpun ini adalah PR
yang sangat berat bagi semua pihak termasuk pemerintah pusat hingga daerah, tenaga
kesehatan, dan masyarakat. Semuanya harus bisa bekerja sama, saling bantu,
saling mendukung dan saling mewujudkan. Terpenting semuanya bisa menyadari,
bahwa kitalah pondasi kesehatan untuk membangun rumah bernama Indonesia Sehat. Tidak bisa sendirian, apalagi jika tercerai berai. Seperti kami, berjuang dalam tim dengan berbeda profesi, latar belakang dan kepribadian. Demi Indonesia Sehat, kami hanya perlu berjuang dalam satu visi yang sama.
Fakta dan Data
Mari kita
berbicara mengenai rumah kita, bagaimana sih data sebenarnya? Apa persiapan
tempur ini sudah cukup padan? Atau kita hanya sedang terus bersiap tanpa berani
bertempur? Namun masalahnya, musuh bisa datang kapan saja. Jika kita terancam,
kita harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk melawan, begitu kan?
Ini patriot-patriot tempur kita!
Ini
aset-aset kita!
Benar bahwasanya kita harus meningkatkan kualitas pelayanan, namun mirisnya bahkan untuk memenuhi secara kuantitas pun kita masih banyak PR. Beberapa sisi yang timpang sudah banyak dicoba seimbangkan, saya pribadi salut kepada Indonesia yang selalu mau belajar, sudah banyak bukti bahwa pemerintah telah banyak berbenah. Terimakasih Indonesia, terutama Kementerian Kesehatan RI, bahwasanya pondasi itu semakin lama semakin berisi.
Peningkatan pelayanan kesehatan juga berkembang. Banyak
upaya yang berbuah hasil dan manis. Meski lebih terlihat di kota dan heboh
dalam perbincangan dunia maya. Seperti masyarakat kota yang bisa mengakses dokter dalam
genggaman, lalu apa kabar masyarakat pedalaman? Ketika masyarakat kota bisa membeli
obat dalam satu kali panggilan, bagaimana dengan mereka yang jauh dari akses ke Apotek? Ini fakta yang memang harus kita terima, ada kesenjangan yang begitu
mencoba memunculkan dirinya. Bukan lagi dari etalase, tapi juga terdengar dari keluhan.
Fakta Wanita
Menurut
WHO (2019) setiap harinya di dunia, 830 ibu meninggal terkait komplikasi selama
kehamilan dan persalinan. Sedangkan berdasarkan data Survei Antar Sensus (SUPAS)
pada tahun 2015, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 305 per 100.000
kelahiran hidup dan merupakan peringkat ke-2 tertinggi di ASEAN. Penyebab utama
kematian ibu hampir sebagian besar disebabkan oleh perdarahan pasca salin,
infeksi pasca salin, preeklampsia/eklampsia, partus lama, dan aborsi yang tidak
aman (Achadi, 2019)
Miris memang, namun inilah kenyataannya. Aku pun turut menyaksikan beberapa ibu menjemput nyawanya saat hamil. Bukan tidak turut menolong dan mengupayakan yang terbaik, tapi ini terjadi dengan sangat rumit. Bukan hanya disebabkan oleh satu faktor tapi multifaktor. Tidak bisa menyalahkan tenaga kesehatan saja, sedangkan di sisi lain akses masih jauh dari kata mudah. Tidak bisa menyalahkan pemerintah saja, sedangkan masyarakat terkadang turut membuat rumit. Jadi siapa yang salah? Rasanya tidak bijak mencari siapa yang salah, harusnya semua pihak langsung berbenah. Menuntaskan semua masalah bersama, berkolaborasi dalam mewujudkan kontribusi menuju Indonesia Sehat.
Tentang Kontribusi, Seluas Bukti
Mungkin
cerita saya tak se-heroik dengan teman di pedalaman Papua. Mereka harus
menempuh perjalanan berhari-hari demi menolong ibu bersalin, menyeberangi lumpur
yang membuat ambulance sulit lewat, dan mungkin berakhir seperti pahlawan
kesiangan. Akhirnya, Ibu melahirkan tanpa dibantu tenaga kesehatan. Apakah sia-sia
perjalanannya? Tentu tidak. Perjuangan mereka terlalu manis untuk dibilang
hambar, semuanya tetap hebat dan bernama kebaikan. Ibu tetap diberi
pelayanan kesehatan pada masa nifas dan bayi juga tetap dilakukan perawatan. Bagi seorang bidan, bukan tentang jalanan yang semakin jauh namun bagaimana jalanan itu bisa ditempuh, dan ini adalah tentang dua nyawa yang harus dibantu.
Papua
selalu punya cerita dengan jalan yang berbeda dan hanya orang dengan kesungguhan yang mampu menaklukannya. Masyarakatnya yang unik dan begitu baik.
Alamnya yang indah dan begitu menawan, serta ceritanya yang syarat makna.
Seorang teman pernah bercerita, mengedukasi masyarakat Papua bukan hanya dengan
mengajari mereka terus-menerus, tapi dengan langsung memberi
contoh yang nyata. Bukan hanya edukasi materi, setiap anak bahkan mereka mandikan demi mengajarkan kebersihan. Bukan hanya kata, perbuatan nyata lah yang terbukti ampuh dalam menyentuh hati mereka. Saya rasa, jika ada 10
orang lagi yang mau dengan repot membuat aksi nyata, mungkin masyarakat ini akan
begitu setia. Kebaikan yang tak hingga akan begitu terasa dan bersama ketulusan akan lebih tepat sasaran. Sebab mereka semua saudara kita, satu
Indonesia.
Klinik Asiki, Sebuah Bukti
Bukti
nyata itu juga turut dihadirkan oleh peran swasta dengan tak kalah dahsyat dalam
memberikan kesungguhan. Sebuah klinik menjadi buktinya, ia bernama ASIKI
yang merupakan hasil kolaborasi oleh KORINDO Group bersama Korea International
Cooperation Agency (KOICA). Tak tanggung-tanggung, pada tahun 2019, klinik ini
mendapatkan penghargaan dari BPJS Kesehatan sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama yang memiliki komitmen tinggi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi
peserta JKN-KIS. Inilah bentuk peningkatan kualitas pelayanan, tidak hanya
dengan hadirnya klinik modern tapi juga pelayanan kesehatan yang diberikan mampu berkontribusi nyata dalam peningkatan kesehatan.
Dimana
sih ASIKI? Yuk ikut aku ke sana...
Tidak jauh kan? Dekat sekali jika lewat peta virtual, namun nyatanya kita terpisah pulau dan daratan yang luas. ASIKI menjadi sebuah nama yang terdengar asing bagi masyarakat kota, namun terdengar begitu indah oleh masyarkat Papua.
Klinik yang berada di perbatasan Indonesia-Papua New Guinea ini memiliki fasilitas cukup lengkap seperti ruang rawat jalan, rawat inap, ruang bersalin, perinatologi, IGD, Ruang bedah minor, USG, Farmasi dan fasilitas lainnya hingga penyediaan ambulans. Menariknya, semua pelayanan kesehatan ini diberikan kepada masyarakat asli Papua dengan cuma-cuma.
Selain itu, klinik ASIKI juga memiliki layanan ‘mobile service’ yang akan menjangkau masyarakat papua di kampung-kampung terpencil dan berbatasan di sekitar wilayah perusahaan yang berada di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Tidak berperan sendirian, layanan ini bekerja sama dengan Puskesmas dalam melaksanakan kegiatannya. Sejak 2017, layanan ini sudah menjelajahi 6 kampung, 3 Kampung di Distrik Jair, 1 kampung di Distrik Subur, dan 2 kampung Distrik Ki. Saya pribadi sangat terharu, kontribusi ini begitu sungguh-sungguh.
Pejuang dengan Bukti Kokoh, Bernama Korindo
Siapa pihak swasta yang berperan tadi? Ya dialah KORINDO.
KORINDO merupakan sebuah perusahaan swasta Indonesia yang berdiri sejak 51 tahun lalu tepatnya
tahun 1969. Sejak tahun 2016, korindo mulai melebarkan sayapnya dalam upaya
terpadu untuk memberikan kontribusi lebih besar lagi di bidang swasembada
pangan di daerah Merauke. Tidak hanya itu, sekitar 10.000 masyarakat Asiki
tergabung menjadi pekerja. Upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan ini
dilakukan dengan kegiatan CSR dan mandiri seperti bantuan dan penyediaan
pelatihan. Korindo pun juga turut melibatkan dalam kegiatan pelestarian lingkugan, contohnya seperti kegiatan bersih-bersih sungai. Bukan hanya itu
saja, banyak peran lain KORINDO seperti bantuan dalam pendidikan dan kontribusi sosial.
Salah satu komitmen KORINDO dalam lingkup sosial yaitu menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang merupakan salah satu pilar dari Corporate Social Contribution-nya (CSC). Adapun program dalam CSC dilakukan sesuai dengan filosofi perusahaan yaitu membangun hubungan yang harmonis, menguntungkan dan berkelanjutan antara masyarakat dan pemangku kepentingan. Selain Klinik Asiki, program ini juga mendirikan klinik gratis di setiap blok perkebunan dan dokter keliling demi menjangkau penduduk di wilayah terpencil.
Rasanya terlalu bahagia, menemukan pihak yang mau berjuang dengan tidak hanya sekadar. Perjuangan yang begitu berarti banyak untuk masyarakat pedalaman. Perjuangan dengan kualitas, yang diberikan tanpa mengenal batas. Terimakasih telah turut bersama dalam memperjuangkan kesehatan, KORINDO. Terimakasih sudah berkontribusi dengan kolaborasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Kesimpulan
Pada akhirnya meningkatkan kesehatan di pedalaman bukan hanya tentang bagaimana kita bisa bergerak masing-masing. Namun ini perlu kolaborasi banyak pihak, pun dengan pendekatan multidisiplin, agar semua wacana bisa menjadi kumpulan bukti nyata. Pemerintah, pihak swasta, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus bisa saling merangkul, membantu dan mendukung semua hal baik untuk mewujudkan Indonesia Sehat. Meski pada realisasinya akan sulit dan hambatan akan silih berganti, tapi percayalah pondasi ini akan semakin kuat demi kesehatan yang baik untuk sesama.
Sebab ini bukan hanya membicarakan ‘apa yang bisa kita berikan untuk negara’ tapi lebih kepada ‘apa yang bisa kita berikan untuk sesama’, sebab kita sesama manusia.
Referensi
Achadi, E. L. (2019). Kematian Maternal dan Neonatal di Indonesia.
In Rakerkernas
2019 (pp. 1–47).
Kemenkes RI (2019). Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2019.
https://covid19.go.id/peta-sebaran
http://bppsdmk.kemkes.go.id/info_sdmk/info/renbut
https://nusantarasehat.kemkes.go.id/content/sekilas-nusantara-sehat
https://www.korindo.co.id/gallery/klinik-asiki/?lang=id
https://www.korindo.co.id/gallery/layanan-mobile-service-klinik-asiki/?lang=id
https://papua.tribunnews.com/2019/09/13/masyarakat-boven-digoel-papua-manfaatkan-klinik-kesehatan-modern-bernama-asiki?page=2
http://www.salampapua.com/2019/10/klinik-asiki-berhasil-tekan-angka.html
https://www.korindo.co.id/
https://www.korindo.co.id/sustainability/?lang=id#piagam-esg
Disclaimer
tulisan ini dibuat sebagai bentuk terimakasih kepada semua pihak yang sudah berjuang meningkatkan pelayanan kesehatan dan diikutkan dalam KORINDO blog competition
0 Response to "Wujud Kontribusi dengan Kolaborasi menuju Indonesia Sehat"
Post a Comment