Sanggup Nggak Ya?? Kisah Seru di Perantauan
Monday, 29 July 2019
Add Comment
Dua tahun hidup di rantau dengan misi Indonesia Sehat dan hidup sebagai Bidan, saya yang newbie bidan waktu itu jelas banyak sekali takutnya. Insecurity yang saya cipta sendiri, mungkin ya.
Takut kalau misalnya harus nolong partus di tengah hutan tanpa siapa-siapa, belum lagi bayangan mengenai kasus patologi yang selama ini cuma berani praktik ke phantom, dan bayangan lain yang seperti horror sekali. Mengerikan...
Di rantau lah aku menjadi tahu bahwa kematian ibu menjadi hal yang berujung takdir, sebab akses yang sulit salah satu alasannya, keputusan keluarga yang memegang peranannya, dan kurangnya fasilitas rujukan salah satu kesulitannya.
Ya, kehadiranku di sini disambut kasus Eklampsi.You know what? kasus yang sebelumnya cuma secara teori kuketahui, sekarang ada di depan mataku. Aku hampir membeku, otakku tak bisa mencerna dengan baik mengenai langkah apa yang harus kulakukan. Tentunya aku tidak sendirian. Bidan berkumpul di sana. Berusaha menyelamatkan. Lalu apa yang terjadi?? Ibu sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Trauma? hampir. Aku hampir pesimis, apakah aku bisa bertahan dengan keilmuanku yang cetek sekali ini, sedangkan kasus di hadapanku bukan lagi seperti ujian kasus normal yang kupelajari. Pelik, takut, dan merasa bersalah.
Baiklah kalau misal kita ingin menyalahkan sistem, silahkan saja. Tapi, mohon bertanya ke diri sendiri juga, bagaimana evaluasi tentang keilmuan kita dalam mendasari pertolongan yang akan kita berikan? Bukannya semua diminta pertanggung jawaban. Memang sudah sangat baik sekali, sudah jauh-jauh kita pergi dari rumah dengan niat berkontribusi pada negeri, tapi apakah kita sudah mempersiapkan bekal yang banyak untuk menghadapi semua hal? Aku rasa, jika kita masih begini-begini saja, masalah kesehatan akan tetap begitu-begitu saja. Benahi dari diri sendiri akan menjadi pilihan berarti.
Ya, kehadiranku di sini disambut kasus Eklampsi.You know what? kasus yang sebelumnya cuma secara teori kuketahui, sekarang ada di depan mataku. Aku hampir membeku, otakku tak bisa mencerna dengan baik mengenai langkah apa yang harus kulakukan. Tentunya aku tidak sendirian. Bidan berkumpul di sana. Berusaha menyelamatkan. Lalu apa yang terjadi?? Ibu sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Trauma? hampir. Aku hampir pesimis, apakah aku bisa bertahan dengan keilmuanku yang cetek sekali ini, sedangkan kasus di hadapanku bukan lagi seperti ujian kasus normal yang kupelajari. Pelik, takut, dan merasa bersalah.
Sejak hari itu, tekadku menjadi lebih baik mulai tumbuh. Entah kasus apalagi yang ada di depan, aku akan terus berusaha belajar. Tidak lagi boleh takut, trauma atau hal yang menghambat aku tumbuh. Yang harus dilakukan adalah bangkit. Ini baru dua bulan pertama, bagaimana dua tahun kemudian? Kala itu aku menggelitik diri sendiri, biar sadar. Aku bukan lagi bocah ingusan yang baru menyandang gelar bidan, masyarakat nggak akan peduli. Yang mereka tahu, pelayanan yang diberikan harus sungguh.
I think sedikit demi sedikit saya harus berbagi tentang hal di perantauan. Banyak newbie yang khawatir terlalu banyak tentang hidup di rantau dan status yang berubah.
Tetap simak ya!!
I think sedikit demi sedikit saya harus berbagi tentang hal di perantauan. Banyak newbie yang khawatir terlalu banyak tentang hidup di rantau dan status yang berubah.
Tetap simak ya!!
0 Response to "Sanggup Nggak Ya?? Kisah Seru di Perantauan"
Post a Comment